Beberapa waktu lalu, seorang teman berkisah tentang kejadian yang teramat menyentuh nuraninya. Suatu ketika muslimah berjilbab itu pulang ke rumah kostnya dari rumah kost adiknya. Seperti biasa, di jalan yang dilaluinya menuju rumah kost kami selalu ada seorang kakek tuna netra yang duduk di tepi trotoar yang sempit. Hanya saja, jika biasanya si kakek duduk di dingklik dengan mangkuk plastik yang ditadahkannya, namun hari itu dia merangkak-rangkak dengan tangan meraba-raba trotoar yang penuh dengan pasir.
Teman saya yang sifatnya selalu mau tahu itu, ikut jongkok dan lantas bertanya, “Kenapa Kek?”
“Nyari duit saya Neng, tadi mangkuknya jatuh, duit-nya jadi berceceran”. Wajah Kakek tua itu tampak sedih.
Serta
merta teman saya membantu memungut koin-koin yang berserakan. Beberapa
koin sudah terkubur pasir dan sebagian lagi terpental jauh dari tempat
kakek itu duduk. Maklum saja, dengan penglihatan yang gelap tentu saja
si kakek tadi mencari koin-koinnya asal dan acak. Dengan senang hati
teman saya tadi mencari koin-koin yang tersembunyi di antara butir-butir
pasir tersebut. Dan seperti biasa pula, jika hatinya mulai tersentuh
oleh sesuatu yang membuatnya haru, air mata mulai menggenang di pelupuk
matanya. Cepat-cepat ia menyerahkan koin-koin yang didapatkannya kepada
si kakek. Sudah tak tahan lagi ingin menangis, katanya. Sambil
menyelipkan selembar uang, teman saya pergi meninggalkan si kakek.
Begitu
sampai di kamar kost, air mata sudah menetes satu persatu di pipinya.
Saya, teman sekamarnya dan dua orang teman kami yang lain kebetulan
sedang berada di kamar tentu saja bingung melihat mukanya yang sembab
dan berurai air mata itu.
“Kenapa? kok datang-datang nangis?” tanyaku bingung.
Hanya sesenggukan yang kudengar dari bibirnya.
“Duh,
ada masalah kali....” timpal temanku yang lain dengan wajah
yang begitu kuatir. “Adikmu sakit?” tambahnya.
Kali
ini temanku mulai tenang. Kemudian bercerita tentang kejadian yang baru
dialaminya. Hhh…kami bertiga menghela nafas lega, kirain ada musibah
apa.
“Maaf
udah bikin panik. Tapi aku bener-bener sedih banget. Aku malu sama
kakek itu. Dia begitu menghargai miliknya, walau beberapa koin. Kalian
kan ga liat mukanya gimana…” ucapnya.
“Iya ga papa kok. Kita ngerti kok, kamu kan gampang trenyuh gitu..hehe” aku mencoba menghibur.
“Aku
malu, semalam aku abis makan di Pizza Hut sama adikku. Abis enam
puluh ribuan sekali makan. Dikit pula. Coba bandingkan dengan kakek itu,
aku kok hura-hura banget ya. Dia susah payah berusaha mencari koin koin
ratusannya yang jatuh, aku buang-buang duit cuma buat makan begitu doang…”
Kami
terdiam. Mencoba meresapi kalimat terakhirnya. Bukan dia saja yang
sering begitu. Aku juga. Temanku yang lain juga. Kamu juga pernah kan?
Semua juga sering kan? Kita seringkali melakukan hal-hal yang sia-sia,
sadar maupun sengaja. Contoh kecilnya, ya itu tadi, beli makanan
mahal-mahal. Padahal belum tentu bergizi. Selain itu, lambung kita juga
akan sama kenyangnya kok, jika diisi dengan makanan enak dan bergizi
yang harganya lebih sesuai. Contoh lainnya, beli selembar baju merek A
dengan harga sekian, padahal harga sekian itu bisa dibelikan baju merek B
dua lembar. Atau mau contoh yang lebih ekstrim lagi, banyak kan kita
temui beberapa dari kita yang suka gonta ganti HP. Baru sebulan dua
bulan pakai, ada yang lebih anyar dan canggih, maka dijuallah yang lama
dan dibelilah yang lebih anyar dan canggih itu. Hanya demi rasa bangga.
Sementara masih banyak yang begitu kekurangan sampai-sampai
berpeluh-peluh keringat membasahi tubuh demi satu koin yang dapat
memberinya kelangsungan hidup.
********
Belajar bersikap zuhud.
Mungkin berkali-kali kita dengar dari para Da’i, Ustadz, ataupun Guru
Mengaji kita saat kecil. Hiduplah sederhana, jangan berlebih-lebihan,
sesuaikan dengan kebutuhan bukan keinginan. Namun jangan pula
mengartikan zuhud dengan sama sekali melepaskan diri dari segala kenikmatan dunia. Zuhud yang sejati yang sering diartikan para ulama adalah menikmati karunia Allah, namun pada saat yang sama juga berlepas dari keterikatan terhadap nikmat tersebut.
Disebutkan
sebuah kisah di zaman Rasulullah, ada seorang laki-laki datang kepada
Rasulullah SAW dan bertanya, ”Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku
suatu perbuatan yang jika aku lakukan, maka aku akan dicintai oleh Allah
dan juga oleh manusia.”
Rasulullah menjawab, ”Berlaku zuhud-lah kamu terhadap kenikmatan dunia niscaya kamu akan dicintai Allah, dan berlaku zuhud-lah kamu di tengah manusia niscaya kamu akan dicintai oleh mereka.”
Bersikap zuhud bukan berarti berdiam diri atau tidak berikhtiar mencari rezeki yang halal. Zuhud bukan sikap malas. Namun seperti yang disebutkan di atas tadi, zuhud
adalah mendapatkan kenikmatan dunia tetapi tidak memalingkan dirinya
dari ibadah kepada Allah. Tidak diperbudak dunia dan tetap berada di
jalan yang diridhai Allah.
Setiap dari kita hendaknya mampu menanamkan zuhud dalam kehidupan bermasyarakat. Yaitu dengan menyikapi kenikmatan dunia searif mungkin dan menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Bersikap zuhud
berarti juga belajar menghormati yang fakir sehingga tidak menimbulkan
kecemburuan sosial. Karenanya lebih baik lagi sertailah sikap tersebut
dengan sikap senang bersedekah. Insyaallah, negara ini akan menjadi lebih tentram bagi semua umat. Aamiin...
Wassalam
Ayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar